A.
Mengkudu
Mengkudu
(Morinda
citrifolia L.) merupakan tanaman tropis yang liar, mengkudu dapat
tumbuh di tepi pantai hingga ketinggian 1500 mdpl (di atas permukaan laut),
baik di lahan subur maupun marginal. Penyebarannya cukup luas, meliputi seluruh
kepulauan Pasifik Selatan, Malaysia, Indonesia, Taiwan, Filipina, Vietnam,
India, Afrika, dan Hindia Barat (Solomon 1999).
Tanaman
mengkudu dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
(berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida
(berkeping dua / dikotil)
Ordo
: Rubiales
Familia
: Rubiaceae
Genus
: Morinda
Species
: Morinda
citrifolia L
Pohon mengkudu tidak begitu besar, tingginya antara
4-6 m. Batang bengkok-bengkok, Kulit batangnya berwarna coklat keabu-abuan,
tidak berbulu. Memiliki bunga yang tumbuh di ketiak daun, Bunganya berwarna
putih, dan berbau harum. Kelopak bunga tumbuh menjadi buah bulat lonjong. Permukaan buah seperti
terbagi dalam sel-sel poligonal (segi banyak) yang berbintik-bintik dan
berkutil. Setelah matang, warnanya putih transparan dan lunak. Daging buah
tersusun dari buah-buah batu berbentuk piramida, berwarna cokelat merah.
Setelah lunak, daging buah mengkudu banyak mengandung air yang aromanya seperti
keju busuk. Bau itu timbul karena pencampuran antara asam kaprik dan asam
kaproat (senyawa lipid atau lemak yang gugusan molekulnya mudah menguap,
menjadi bersifat seperti minyak atsiri) yang berbau tengik dan asam kaprilat
yang rasanya tidak enak. Diduga kedua senyawa ini bersifat aktif sebagai
antibiotik.(Bangun & Sarwono, 2011).
Tanaman mengkudu memiliki daun yang tebal dan
mengkilap. Daun mengkudu terletak berhadap-hadapan. Ukuran daun besar-besar,
tunggal, tepi daun rata, ujung lancip pendek. Warna hijau mengkilap, tidak
berbulu.
Mengkudu
merupakan bahan makanan yang bergizi lengkap. Zat-zat nutrisi yang dibutuhkan
tubuh antara lain: karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral-mineral esensial
juga tersedia dalam buah maupun daun Mengkudu. Selenium adalah salah satu
contoh mineral yang banyak terdapat pada Mengkudu dan merupakan antioksidan
yang hebat.(Wahyu Widayat, STP). Bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara
memanfaatkan mengkudu untuk mengobati berbagai jenis penyakit. (Rahmawati,
2009)
B.
Candida albicans
1. Klasifikasi
Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua
bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi
blastospora dan menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa semu. Perbedaan
bentuk ini tergantung pada faktor eksternal yang mempengaruhinya. Sel ragi
(blastospora) berbentuk bulat, lonjong atau
bulat lonjong dengan ukuran 2-5 μ x 3-6 μ hingga 2-5,5 μ x 5-28 μ . Berdasarkan
toksonomi menurut Siti Dumilah (1982) adalah sebagai berikut :
Divisio : Eumycotina
Class : Deuteromycetes
Ordo : Monilliales
Familia : Cryptococcaceae
Sub
Famili : Candidoidea
Genus : Candida
Spesies : Candida
albicans
ini Uji GTT (Germ Tube Test)
2.
Morfologi
a. Mikroskopik
Kerokan kulit
atau swab mukosa ditetesi dengan KOH 10% atau dapat diwarnai dengan pewarnaan
Gram, dan selanjutnya dilihat dibawah mikroskop, yang dapat dilihat adalah
berbentuk oval dengan sel anakan, dan berbentuk filament.
b. Makroskopik
Media yang
digunakan adalah agar dekstrosa sabaroud dengan atau tanpa antibiotik.
Antibiotik ditambahkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang dapat tumbuh
bersama jamur. Biakan akan tumbuh setelah 3 hari dengan inkubasi pada suhu
kamar (25°C-30°C), dengan ukuran 2-5,5µ × 3-6µ tergantung
dari lama inkubasinya. Koloni Candida
berwarna krem, timbul diatas permukaan media, permukaan koloni halus dan licin,
dan berbau khas ragi untuk kultur murni dipilih koloni yang terpisah. Pada
media cair, candida biasanya tumbuh pada dasar tabung (Jawest, 2004).
3.
Reproduksi
Candida memperbanyak
diri dengan membentuk tunas, spora jamur disebut blastospora. Membentuk hifa
semu (pseudohifa) yang sebenarnya adalah rangkaian blastospora. Berdasarkan
bentuk-bentuk jamur tersebut dikatakan bahwa Candida menyerupai ragi (yeast-like), untuk membedakannya dari
jamur yang hanya membentuk blastospora. (Jawest, 2004).
4.
Patogenitas dan
Patologi
Candida dapat hidup sebagai saprofit atau yang disebut saprobe,
yaitu organisme yang melekat pada inang dan menyerap makananya melalui
organisme yang telah mati tanpa menyebabkan suatu kelainan didalam tubuh baik
manusia maupun hewan. Sifat infeksi patogen yang menyebabkan penyakit Candida disebut kandidiasis. Proses
infeksi dimulai dengan perlekatan Candida
pada sel epitel. Kemampuan melekat
ini lebih baik pada Candida albicans
dari pada spesies Candida lainnya.
Kemudian, Candida albicans
mensekresikan enzim proteolitik yang mengakibatkan kerusakan ikatan-ikatan
protein sel pejamu sehingga memudahkan proses invasi. Selain itu, Candida juga mengeluarkan mikotoksin, diantaranya
gliotoksin yang mampu menghambat aktivitas fagositosis dan menekan sistem imun
lokal. Terbentuknya kolonisasi Candida
memudahkan proses invasi tersebut berlangsung sehingga menimbulkan gejala pada
pejamu.
Patogenitas Candida dilakukan dengan uji germ tube
(GTT), yakni penambahan serum pada koloni Candida.
Hasil pengamatan menunjukan adanya gumpalan sehingga menandakan bahwa Candida tersebut patogen (Mary E. Back,2011 ).
Secara histologik, berbagai lesi kulit pada manusia
menunjukkan peradangan. Beberapa menyerupai pembentukan abses : menyerupai
granuloma menahun. Candida sering
dijumpai pada mukosa mulut, yang sering menimbulkan sariawan, Kadang – kadang Candida ditemukan dalam jumlah besar
dalam saluran pencernaan setelah pemberian antibiotic oral. Candida dapat terbawa oleh aliran darah
ke berbagai organ termasuk selaput otak, tetapi biasanya tidak dapat menetap
(jawest.dkk,2004).
Dari hasil penelitian
yang pernah saya lakukan sebelumnya kepekatan dari sari buah mengkudu berpengaruh terhadap pertumbuhan Candida albicans pada konsentrasi 20% rata–rata jumlah koloni yang
tumbuh berjumlah 76 buah, pada konsentrasi 40% Jumlah koloni berkurang menjadi
51 buah, sedangkan pada konsentrasi 60% terdapat penurunan jumlah koloni yang
sangat drastis total koloni yang tumbuh hanya sebanyak 2 buah dan pada
konsentrasi 80% dan 100% tidak dijumpai pertumbuhan koloni Candida albican sama sekali. Ini menjelaskan bahwa sari mengkudu yang paling
optimal dalam menghambat pertumbuhan Candida
albicans adalah konsentrasi murni (100%).
Maka berdasarkan
penelitian tersebut, didapatkan kesimpulan “Semakin besar kadar sari Mengkudu,
maka semakin sedikit jumlah koloni Candida yang tumbuh.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar